Gito, anak Getas Pejaten, kawasan pinggiran kota Kudus, setiap hari, kecuali Minggu dan hari libur, berjalan kaki pergi pulang hampir empat belas kilo, ke sekolahnya, sekolah dasar di Jalan Daendels. Karena banyak jalan menuju ke sekolahnya, Gito bisa memilih jalan mana yang paling disukainya. Kalau perlu, dia juga lewat jalan-jalan kecil yang lebih jauh, untuk menyenangkan hatinya.
Seperti anak-anak lain, Gito sehari hanya makan satu kali, setelah pulang sekolah. Juga seperti anak-anak lain, Gito tidak mempunyai sandal, apa lagi sepatu. Guru-guru pun bertelanjang kaki. Kalau ada guru memakai sepatu, atau sandal, pasti sepatu atau sandalnya sudah reyot.
Pakaian Gito, demikian juga pakaian teman-temannya, serba compang-camping, penuh tambalan, demikian pula pakaian para guru. Semua pakaian sudah luntur warnanya, dan kalau diwenter warnanya bisa tampak agak cerah, tapi dalam waktu singkat luntur lagi.
Gito tahu cara menangkal kelaparan. Kalau mau, dia bisa menangkap ikan di sungai tidak jauh dari rumahnya. Pada waktu pulang dari sekolah, kadang-kadang Gito lewat Pasar Johar, tidak jauh dari setasiun jurusan Pati, Juana, Rembang, dan jurusan Pecangakan, Jepara. Di pasar itu dia bisa memunguti remah-remah gula jawa, gula yang bermanfaat untuk melawan rasa lapar.
Tidak jauh dari rumahnya ada pabrik bungkil kacang tanah, untuk pakan ternak. Kadang-kadang Gito juga memunguti remah-remah bungkil kacang tanah, meskipun dia tahu bungkil kacang tanah bisa menyebabkan sakit perut dan gondongen, leher bisa membengkak sampai besar.
Di rumah, kalau beras padi habis, ayah, ibu, dan Gito, satu-satunya anak ayah dan ibunya, makan beras jagung, dan kalau beras jagung habis, mereka makan ketela pohung.
Pada suatu hari, ketika pulang dan melewati kedai gulai kambing kakek Leman, seorang laki-laki tua yang selalu memakai udeng Jawa di kepalanya, Gito dipanggil oleh kakek Leman. Gito diberi makan, lalu, seperti biasa, disuruh membersihkan rumput di pekarangan belakang kedai.
Kakek Leman bertanya: “’t tukang cukur di bawah pohon cemara?”
Kakek Leman membuka udengnya, lalu memutar tubuhnya, kemudian berkata: “Lihat ini,” sambil meminggirkan rambutnya.
Tampak bekas luka, bukan luka biasa, tapi agak dalam.
Kakek Leman bercerita, tanpa diketahui dari mana asal-usulnya, tiba-tiba pada suatu hari ada tukang cukur di bawah pohon cemara dekat simpang tiga jalan yang menghubungkan jalan Setasiun dengan jalan Bitingan. Beberapa langganan kakek Leman, kata kakek Leman, juga heran mengapa tiba-tiba ada tukang cukur di situ.
Di antara lima pelanggan kakek Leman yang pernah dicukur di situ, tiga orang telah dilukai kepalanya. Tukang cukur selalu meminta maaf, katanya tanpa sengaja, tapi semua korban yakin, tukang cukur itu memang sengaja melukai mereka.
Tukang cukur berkata, kata langganan kakek Leman, tukang cukur adalah pekerjaan yang paling mulia. Hanya tukang cukurlah yang berhak memegang-megang kepala orang lain. Kalau bukan tukang cukur, pasti orang yang dipegang kepalanya merasa dihina, dan marah.
Keesokan harinya ada sesuatu yang baru, yaitu kedatangan seorang guru baru bernama Dasuki, kabarnya datang dari sebuah kota besar, entah mana. Sekolah Gito mempunyai enam klas, mulai dari klas satu sampai dengan klas enam. Jumlah guru ada delapan, terdiri atas enam guru klas, satu wakil kepala sekolah, dan satu kepala sekolah. Kalau ada guru berhalangan, mereka menggantikan guru yang berhalangan datang. Karena semua guru datang, Dasuki masuk ke semua klas, dan guru klas yang dimasuki klasnya harus ikut pelajaran Dasuki.
Dasuki terus menekankan, negara yang paling hebat di dunia adalah Rusia. Semua kota dan desa di Rusia serba bersih, semua penduduknya bahagia, makan enak-enak sampai kenyang.
“Lihat dokar itu,” kata Dasuki sambil mengacungkan tangannya ke arah jalan Daendels. “Lha, itu dia, kudanya kencing dan berak sambil lari. Kotor. Di Rusia, semuanya sudah diatur dengan cermat. Tidak mungkin ada kuda kencing dan berak seperti di sini.”
Lalu, Dasuki menyambung ceritanya dengan kehebatan-kehebatan lain Rusia.
Banyak murid yang terkagum-kagum, mulutnya agak menganga. Ada juga guru yang kagum, ada juga guru yang tersenyum-senyum tidak enak.
Hanya beberapa minggu saja Dasuki mengajar, sesudah itu dia pergi dan tidak pernah kembali.
Pada suatu hari, dalam perjalanan pulang, Gito sengaja melewati jalan yang banyak pohon cemaranya. Dari kejauhan tampak tukang cukur itu sedang berbicara sendiri, nadanya memaki-maki. Begitu melihat Gito, tukang cukur memanggil Gito.
“Sini kamu,” kata tukang cukur. “Saya cukur.”
Tukang cukur berjalan mendekati, Gito berhenti seperti patung, tapi begitu tukang cukur sudah dekat, Gito lari kencang dengan kekuatan penuh.
Tukang cukur mula-mula ingin mengejar, tapi kemudian berhenti, sambil memaki-maki.
Akhir bulan September 1948 datang, dan di mana-mana terasa suasana panas dan serba mengancam. Banyak tentara memakai duk merah berdatangan, entah dari mana. Kata orang, itulah tentara PKI (Partai Komunis Indonesia). Mereka berkeliaran, masuk keluar kampung, dan kebanyakan bergerombol di daerah sandulok (=pelacur), di pinggir kota sebelah timur. Kemudian, beberapa kali, selama dua puluh empat jam, terdengar tembakan-tembakan.
Makin hari makin banyak cerita mengenai orang hilang, orang dibunuh, dan macam-macam lagi yang kurang jelas.
Mata uang Republik Indonesia dinyatakan tidak berlaku, diganti dengan mata uang Pemerintah Komunis, mirip kupon. Harga semua barang makin melompat-lompat.
Pada suatu siang, ada pemandangan yang menakjubkan: tukang cukur berpakaian tentara, memakai duk merah, menenteng senjata, beserta dengan beberapa tentara lain masuk ke daerah di belakang rumah sakit, didahului oleh beberapa orang yang tangannya diikat.
Diam-diam Gito mengikuti mereka. Ketika sampai lapangan terbuka, mereka berhenti, dan Gito bersembunyi di balik semak-semak. Gito menyaksikan, orang-orang yang diikat tangannya digertak-gertak oleh tukang cukur dan teman-temannya, disuruh berdiri rapi, kemudian diberondong dengan serangkaian tembakan.
Keadaan makin gawat. Listrik tidak pernah menyala lagi. Tembakan-tembakan kadang-kadang terdengar, selama dua puluh empat jam sehari.
Keadaan menjadi lebih gawat, ketika pasukan Siliwangi yang khusus didatangkan dari Jawa Barat, masuk ke kota Kudus, untuk membersihkan pasukan PKI. Dalam berbagai pertempuran kecil-kecilan, beberapa tentara PKI berhasil melarikan diri. Sebagian lain ditangkap, dan beberapa tokohnya diarak ke alun-alun, dibawa ke bawah pohon beringin, kemudian ditembak. Gito datang dan melihat pemandangan yang sukar dipercaya: tukang cukur, berpakain preman, tidak lagi memakai pakaian tentara PKI, memberi perintah kepada orang-orang yang akan dihukum mati untuk berdiri dengan tegap dan rapi, kemudian melilitkan kain ke wajah-wajah mereka supaya mereka tidak bisa melihat regu penembak.
Beberapa kali hukuman tembak mati oleh pasukan Siliwangi dilakukan di alun-alun, dan semua orang boleh menyaksikan. Gito tahu, tentara PKI membunuh dengan diam-diam dan serba rahasia, tidak seperti pasukan Siliwangi. Dalam beberapa peristiwa hukuman mati itu tukang cukur tampak mondar-mandir dengan sikap gagah.
Kabar tidak jelas beredar, pada suatu hari tukang cukur itu dihajar oleh tentara Siliwangi, dengan tuduhan, dia membuat daftar orang-orang yang dibencinya untuk dihukum mati, tanpa bukti.
Hari demi hari berjalan terus, makin lama suasana makin mencekam, dan akhirnya, bulan Desember 1948 tiba. Pasukan Siliwangi telah meninggalkan Kudus, mengejar tentara-tentara PKI yang terus terdesak ke timur sampai Pati, Juana, Rembang, melebar ke Cepu, dan Blora.
Setelah Kudus ditinggal oleh pasukan Siliwangi, pada suatu hari, ketika fajar hampir tiba, seluruh kota Kudus terasa bergetar-getar, langit dilalui pesawat cocor merah yang terbang sangat rendah, datang dan pergi, datang dan pergi lagi. Pesawat cocor merah, itulah pesaswat kebanggaan Belanda. Begitu matahari terbit, pesawat-pesawat cocor merah mulai menyapu kota Kudus dengan tembakan-tembakan dahsyat. Peluru-peluru berat mendesing di sana sini. Jenasah bergelimpangan di sana sini pula. Beberapa bagian Getas Pejaten juga dihujani peluru, tapi hanya tempat-tempat tertentu. Kemudian, rumah Gito juga terhantam beberapa peluru.
Ayah Gito segera mengajak Gito dan ibunya lari dari pintu belakang, menyeberang jalan, masuk ke sebuah gang yang berliku-liku, mengungsi ke rumah pak Ruslan, sahabat ayah Gito.
Keluarga Ruslan menyambut mereka dengan baik, memberi mereka karet tebal untuk digigit kalau ada bom meledak, dan juga penutup kuping.
Mereka bertahan di tempat perlindungan bawah tanah hampir dua hari, tanpa makan. Ruslan membagikan pil untuk membuat perut kenyang.
Akhirnya, sekitar jam tiga siang, tank-tank Belanda, diikuti banyak panser, dan tentara-berlari-lari kecil, memasuki kota Kudus dari arah kota Demak. Kota Kudus dan seluruh daerah di pinggirannya resmi diduduki pasukan Belanda.
Selama hampir satu minggu Kudus bagaikan kota mati. Keluarga Ruslan meninggalkan rumahnya, entah pergi ke mana. Tentara-tentara Belanda masuk ke kampung-kampung, menangkap semua pemuda yang dicurigai, lalu dibawa entah ke mana.
Setelah keadaan tenang, Gito mulai sekolah, dan seperti biasa, dia berjalan kaki, makan hanya sekali sehari, dan kadang-kadang, waktu pulang, memilih jalan dan gang-gang yang berbeda-beda.
Pada suatu hari, ketika Gito pulang, ada sebuah jeep berjalan perlahan-lahan di jalan Bitingan, lalu dengan sigap Gito meloncat ke selokan, bersembunyi. Di dalam jeep ada dua orang berpakaian tentara Belanda, yaitu tukang cukur bertindak sebagai sopir, dan Ruslan duduk di sebelahnya.
Hampir setiap malam ada tembak-menembak: gerilyawan pejuang Indonesia masuk kota.
Hari demi hari berjalan terus, sampai akhirnya, Gito masuk ke SMP tidak jauh dari alun-alun.
Pada bulan Desember 1949, semua tentara Belanda ditarik, dan masuklah tentara Indonesia dari sekian banyak markas daruratnya, kebanyakan di daerah Gunung Muria. Gito mendengar, penarikan tentara Belanda adalah hasil Konferensi Meja Bundar di Belanda, antara wakil Indonesia dan wakil Belanda. Pasukan Belanda harus meninggalkan Indonesia, kecuali Irian Barat (sekarang Papua).
Tukang cukur dan Ruslan hilang tanpa jejak.
Ketika Gito sudah naik ke klas dua, suasana Kudus tegang lagi. Sekian banyak tentara yang tidak dikenal, semua mengenakan duk hijau dan membawa senapan, berkeliaran di seluruh bagian kota. Seperti dulu, banyak di antara mereka menggerombol di kawasan sandulok.
Suasana makin hari makin muram, sampai akhirnya, sekitar jam satu malam, Gito terbangun mendengar tembakan tanpa henti tidak jauh dari rumah. Sekitar jam enam pagi suasana menjadi betul-betul senyap.
Tersebarlah berita, pertempuran hebat di bekas pabrik rokok Nitisemito, tidak jauh dari rumah Gito, telah berakhir. Sebagian tentara liar terjebak di bekas pabrik, dan sebagian melarikan diri, kemungkinan menuju ke arah gunung Merapi dan Merbabu. Gito baru tahu, tentara liar itu dikenal sebagai tentara NII (Negara Islam Indonesia), dan akan menjatuhkan pemerintah Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam.
Ketika Gito tiba di bekas pabrik rokok, sudah banyak orang berkerumun di sana. Semua mayat tentara yang terjebak di pabrik sudah diangkut keluar, dibaringkan di pinggir jalan. Salah satu mayat itu tidak lain dan tidak bukan adalah tukang cukur.
***
Kompas, 11 September 2016
Budi Darma bekerja sebagai Guru Besar Unesa (Universitas Negeri Surabaya) dan pernah menjadi rektor di lembaga tersebut. Budi Darma telah menerbitkan beberapa karya fiksi antara lain novel Olenka, Rafilus, dan Ny. Talis serta beberapa kumpulan cerpen, antara lain Orang-Orang Bloomington, Kritikus Adinan, Conversation, dan Hotel Tua. Budi Darma pernah memperoleh penghargaan SEA Write Award 1984 di Bangkok, Satya Lencana Kebudayaan Presiden Republik Indonesia 2003, dan
Anugerah Mastera 2011 di Brunei Darusalam.